Hot News

Investor bisa berpaling dari Batam
2015-01-09

BATAM - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri meminta pemerintah memperhatikan iklim investasi diFTZ Batam, terutama perburuhan dan keterkaitan upah minimum dengan produktivitas.

"Upah kita sekarang tertinggi ketiga di ASEAN diatas Vietnam serta Kamboja, sementara produktifitas hanya nomor lima. Kita harus hati-hati sama masalah ini," ujar Ketua Apindo Kepri Cahya usai peresmian kantor PT.Citra Shipyard dan empat kapal milik pertamina di Sagulung, kemarin.

Apindo mengaku pesimistis terhadap prospek FTZ Batam 2015 jika mengacu data perkembangan upah minimum yang tidak diikuti peningkatan produktifitas tersebut.

Apindo berpendapat, seharusnya ada peninjauan ulang dalam besaran upah minimum Kota Batam yang dalam beberapa tahun terakhir terus bertambah sehingga membuat beban baru bagi investor.

Investor kemudian bisa saja lebih memilih negara lain seperti Vietnam jika dirasa lebih menguntungkan ketimbang FTZ Batam dari segi upah, insentif dan kondusifitas. Disamping itu juga kerap muncul masalah perburuhan yang masih menghantui hubungan industrial antara perusahaan dan pekerja yang berulang-ulang meruncing.

Cahya menilai aksi pekerja berupa pemblokiran, mogok kerja hingga penahanan aset dan produksi yang terjadi baru-baru ini di PT. Sanmina SCI dan PT. Siemens juga menciptakan imege negatif bagi FTZ Batam.

"Saya pikir peran dari serikat pekerja melenceng. Kalau seperti ini terus investor takut semua dan saya sesalkan semua dilakukan terhadap investor asing, padahal kita butuh mereka. Dan jangan sampai aksi ini diboncengi menjelekkan Batam karena akan kacau," ujar Cahya.

Dia mengatakan pemerintah daerah dan aparat kepolisian harus cepat turun tangan mengatasi aksi ini agar dampak buruk tidak berlanjut menjelekkan nama Batam di mata investor. Pemda harus bisa berkomunikasi dengan pengusaha agar bisa dengan cepat menjamin langkah perusahaan yang ingin menetralkan aksi sebelum terjadi.

"Aksi tidak boleh terjadi hanya karena dugaan perusahaan mau lari. Disnaker harus cepat komunikasi lalu klarifikasi," kata dia. Sementara itu, berdasarkan kajian yang dirilis Akademisi Fakultas Ekonomi Umrah Rafki Rasyid, menjelaskan saat ini upah minimum Indonesia berada diperingkat ketiga tertinggi dengan USD226 per bulan diantara 10 negara Asean. Letak upah Indonesia hanya berada dibawah Malaysia USD300 dan Singapura USD406.

Sementara dibawah Indonesia tercatat Filipina USD200, Thailand USD197, Vietnam USD113, Myanmar USD112, Laos USD78 dan Kamboja USD64. Rafki menyatakan dengan upah lebih tinggi dari enam negara lain, sementara produktifitas tenaga kerja kita hanya nomor lima berbahaya bagi perkembangan kondisi ketenagakerjaan Indonesia.

"Investor akan berpandangan ada tekanan buruh terhadap pemerintah untuk menaikan upah. Seharusnya kenaikan upah diimbangi dengan naiknya produktivitas," jelasnya. Dia mengatakan Vietnam saat ini menjadi tantangan berat bagi Indonesia terutama FTZ Batam. Banyak investor saat ini melirik Vietnam sebagai tujuan investasi basis prosduksi. Pemerintah Vietnam yang memberikan banyak insentif dan iklim yang kondusif serta jarang terjadi demonstrasi buruh menjadi daya tarik yang tidak dimiliki di FTZ Batam.

Selain itu salah satu insentif menaik yang diberikan pemerintah Vietnam adalah pemberian tanah secara gratis seluas 3.000-5.000 meter persegi untuk investor. Buktinya juga saat ini sejumlah investor mulai menempuh relokasi industri ke Vietnam terutama industri garmen asal Korea Selatan. "Selain Vietnam, Kamboja juga sudah mulai banyak dilirik investor asing," sebutnya.

Rafky juga menyebutkan International Labour Organization (ILO) juga memandang Indonesia sebagai satu-satuanya negara yang upahnya naik akibat demonstrasi. Informasi itu terungkap dari pembicaraan antara Direktur ILO Guy Ryder dengan Wapres Jusuf Kalla.

Menurutnya, kondisi itu secara gamblang menjadi citra buruk investasi di Indonesia sekaligus menurunkan minat investor untuk menanamkan uangnya di Indonesia. "Diluar negeri demo dilakukan bukan menuntut kenaikan upah tapi perbaikan kondisi lingkungan kerja dan tuntutan perbaikan asuransi oleh pemerintah," ujar Rafky.

Sebagai dampak kenaikan upah, lanjut Rafky, saat ini di Jakarta sudah ada 27 perusahaan yang mengajukan penangguhan pembayaran upah karena tidak sanggup bayar. Di Batam dipastikan juga akan terjadi perusahaan mengajukan permohonan penangguhan UMK 2015. Menurutnya, kondisi ini tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus menemukan formulasi perencanaan pengupahan dimasa mendatang agar bisa diterima semua pihak.

"Pemerintah juga haraus menjamin kenaikan upah diikuti kenaikan produktivitas. Dan yang paling urgent kenaikan upah jangan gara-gara demo melainkan melalui diskusi setara antara buruh dangan pengusaha," ujarnya. Sebelumnya, pelaku usaha galangan kapal di Batam juga mendesak Pemerintah untuk segera fokus memperbaiki iklim negatif usaha di FTZ menyusul cobaan bertubi-tubi yang terus dihadapi sektor itu, terutama dampak dari gejolak aksi buruh..

Chairman Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA) Luc Verley mengungkapkan gejolak aksi buruh yang terjadi di Batam setiap tahunnya selalu berdampak signifikan terhadap kinerja industri galangan kapal di Batam. Produksi galangan kapal disaat aksi buruh yang diwarnai mogok kerja dan sweeping terpaksa harus berhenti total sehingga mengancam jadwal ketat produksi yang diwajibkan pemesan kapal serta membawa resiko pengenaan pinalti hingga pembatalan kontrak.

Sementara disisi lain, menurut Luc, situasi iklim ekonomi untuk galangan kapal saat ini masih sangat buruk dan kondisi Batam sangat sulit jika dibandingkan dengan Cina menjadi cobaan sektor itu untuk keluar dari masa-masa suram.

Pelambatan kinerja galangan kapal bisa dilihat dari menurunnya total penyerapan tenaga kerja pada tahun ini menjadi 30.000 orang, dari total penyerapan pada dua tahun terakhir sebesar 250.000 orang.

*sumber : Koran Sindo Batam/chandra gunawan  (KLIPING APINDO)



Partner Kami