Hot News

UMK Harus Sesuai PP 78, Jika Tidak, Maka Batal Demi Hukum
2015-11-11

Pengamat Ekonomi yang juga akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kepri, Rafki Rasyid mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan telah berlaku dan mengikat semua pihak. Sehingga penetapan upah buruh harus mengacu PP tersebut.

“Apapun kesepakatan yang dibuat tidak sesuai dengan PP tersebut, batal demi hukum,” kata Rafki, Selasa (10/11/2015).

Menurut ia, Dewan Pengupahan Kota (DPK) Batam mestinya paham hal itu dan mengikuti PP ini. Pasalnya, kata Dosen Fakultas Ekonomi itu, PP dikeluarkan tanggal 23 Oktober. Sementara kesepakatan tentang upah minimum kota (UMK) Batam 2016 di DPK Batam dibuat tanggal 26 Oktober.

“Jadi tidak ada alasan DPK Batam membuat kesepakatan di luar peraturan ini,” kata dia.

Rafki juga mengkritisi rencana Kadin yang akan menggugat pemberlakuan PP 78/2015 ini bersama kalangan buruh. Pasalnya, kata ia, selaku lembaga yang memayungi kalangan usaha, mestinya Kadin mengakomodir suara pengusaha. Mengingat, sudah ada sepuluh asosiasi pengusaha yang menyurati Penjabat Gubernur Kepri untuk meminta kepala daerah menetapkan UMK Batam sesuai PP 78/2015.

Beberapa asosiasi itu di antaranya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA), Real Estate Indonesia (REI), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Asosiasi Travel Agen (Asita), dan beberapa asosiasi pengusaha lainnya. Menurut dia, sikap Kadin yang berseberangan dengan asosiasi pengusaha lainnya itu merupakan bentuk anomali.

“Ini sangat aneh, kenapa Kadin menyuarakan kepentingan buruh bukan kepentingan pengusaha,” tanya dia.

Menurut Rafki, penetapan upah kelompok seperti yang diusulkan DPK selain UMK, dinilai akan memukul sebagian besar pengusaha di Batam karena angkanya terlalu tinggi. Apalagi dalam situasi ekonomi yang sedang mengalami perlambatan seperti sekarang ini.

“Pemutusan hubungan kerja (PHK) akan semakin masif terjadi dan ini akan merugikan ekonomi Batam secara keseluruhan,” katanya lagi.

Menurut dia, PP 78/2015 sudah mengakomodir perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) dalam formulasi penetapan upah minimum. Sementara upah kelompok, kata ia, tidak ada sama sekali payung hukum yang melindunginya.

“Peraturan yang ada hanya mengatur upah sektoral bukan upah kelompok, dan DPK tidak berwenang menetapkan upah kelompok,” katanya.

Tak ketinggalan, Rafki juga menilai Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan, membuat kesalahan ketika mengusulkan dua angka ke gubernur Kepri. Ia katakan, kesepakatan yang dibuat oleh DPK Batam harus diabaikan atau dibatalkan karena menyalahi peraturan yang ada.

“Harusnya biro hukum Pemko Batam memberikan masukan bahwa kesepakatan yang dibuat menyalahi peraturan yang ada, jadi harus batal demi hukum,” imbuhnya.

Ketika wali kota mengakomodir dua usulan angka UMK, Rafki menilai wali kota tak sesuai aturan yang ada. “Harusnya wali kota tunduk pada peraturan yang dibuat pemerintah, karena wali kota adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di Batam,” katanya.

Sementara itu, Ketua Kadin Kepri, Ma’ruf Maulana, mengatakan mestinya tetap meminta Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan, mengusulkan UMK versi DPK. Pasalnya, kata dia, selain diusulkan oleh perwakilan pemerintah, pengusaha, dan buruh, kesepakatan itu juga punya landasan hukum yang jelas yakni UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Jadi mestinya wali kota juga pakai usulan DPK ini, toh sudah ada wakil pemerintah kota yakni Dinas Tenaga Kerja, kenapa malah mengusulkan dua usulan ke gubernur,” kata Ma’ruf.

Tak hanya itu, ia juga mengkritisi usulan Apindo yang lebih condong pada aturan PP 78/2015. Pasalnya, kata Ma’ruf, Apindo mestinya berada satu suara dengan Kadin karena lembaga ini telah diatur oleh pemerintah sebagai wadah bagi kalangan usaha.

Lebih lanjut, Ma’ruf juga mengklaim akan mengajukan gugatan atas PP yang telah diteken presiden pada 23 Oktober lalu itu. “Kami juga akan mengajukan uji materi terhadap PP 78/2015 ke Mahkamah Agung,” kata dia.



*Sumber Koran Batam Pos / rna



Partner Kami